Sabtu, 10 November 2007

Pengaruh dan Surutnya Tionghoa - Islam

Adalah kenyataan sejarah bahwa orang-orang Tionghoa dari Yunnan pada abad ke–14 dan abad ke-15 datang ke Nusantara terutama ke Sambas, Palembang dan Jawa untuk menyebarkan agama Islam mashab Hanafi yang kemudian surut digantikan dengan mashab lainnya. Pada awalnya mereka hanya menyebarkan agama Islam di komunitas Tionghoa yang pada umumnya tinggal di pesisir sambil melakukan perdagangan. Sudah tentu kedatangannya membawa pengaruh dan perubahan yang besar dalam kehidupan politik dan tata kehidupan masyarakat pada masa itu, dimana pengaruh agama Hindu dengan representasi Kerajaan Majapahit sangat dominan. Tokoh besarnya adalah Laksamana Cheng Ho yang dengan armadanya yang mengagumkan memberi pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Nusa Tenggara.

Banyak orang-orang Muslim Tionghoa Jawa Timur di bawah pimpinan Bong Swi Hoo atau Sunan Ngampel yang menjadi penasihat dan bupati di Majapahit. Mereka kemudian mendorong Raden Patah alias Jin Bun untuk mendirikan Kesultanan Islam pertama di Demak.

Sebagian dari Walisongo yaitu, Sunan Ngampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati diidentifikasikan sebagai orang-orang Muslim Tionghoa yang sangat besar jasanya dalam menyebarkan agama Islam di pesisir utara Jawa, dari Banten sampai Madura.

Kalau kita mengunjungi mesjid-mesjid Walisongo di pantura Jawa seperti Mesjid Agung Demak (Masjid Glagah Wangi) atau makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, maka akan tampak sekali pengaruh kebudayaan Tionghoa. Di tembok-tembok mesjid banyak ditempelkan piring porselin Tiongkok dari zaman Dinasti Ming, demikian juga banyak terdapat guci-guci antik yang tak ternilai harganya. Di Mesjid Glagah Wangi Demak terdapat ornamen kura-kura yang digunakan untuk menunjukkan tahun mulai dibangunnya mesjid tersebut, yaitu tahun 1401 Caka atau 1479 Masehi. Penggunaan kura-kura yang termasuk binatang yang banyak terdapat dalam mitologi Tionghoa, tidak umum dalam kebudayaan Islam,Hindu maupun Buddha.

Demikian juga kalau kita mengunjungi mesjid-mesjid di negara-negara Timur Tengah, termasuk di Saudi Arabia, kita tidak akan menemukan bedug untuk pertanda azan lima waktu. Selanjutnya kita juga tidak akan menemukan model pesantren seperti yang terdapat di Jawa,karena kedua hal tersebut sangat jelas dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa.Arsitektur mesjid-mesjid di Jawa juga sangat dipengaruhi kebudayaan Tionghoa yang bergaya pagoda dan atap bertingkat. Contohnya masih dapat kita saksikan yaitu Mesjid Agung Banten, yang dibangun pada sekitar tahun 1620 oleh arsitek Tionghoa Cek Ban Cut dengan menaranya yang seperti pagoda.

Tradisi atau kebiasaan membakar petasan atau mercon pada masa bulan Ramadhan dan menyambut Hari Raya Idul Fitri atau pada upacara-upacara perkawinan, khitanan dsbnya yang dilakukan umat Islam di pedesaan pulau Jawa, jelas merupakan tradisi yang dipengaruhi tradisi Tionghoa yang membawa kebiasaan ini dari daratan Tiongkok, tempat asal petasan tersebut.

Pada masa kekuasaan VOC dan pemerintahan Hindia Belanda, orang Tionghoa banyak yang masuk menjadi Islam kembali.Alasan utamanya adalah untuk menghindari pajak kepala atau pajak konde/kuncir yang dikenakan kepada orang-orang Tionghoa. Kalau mereka masuk Islam, maka mereka akan terhindar dari pajak tersebut.

Demikian juga setelah terjadi insiden pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, orang Tionghoa banyak yang masuk menjadi Islam demi menjamin keamanannya. Ketika terjadi Perang Jawa atau Perang Diponegoro, orang-orang Tionghoa yang mendukung Pangeran Diponegoro juga banyak yang menjadi prajuri menjalankan politik segregasi dan berusaha memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat. Kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda selalu memojokkan orang Tionghoa.

Orang-orang Tionghoa hanya diperalat untuk kepentingan politik dan ekonomi pemerintah kolonial Belanda. Orang-orang Tionghoa harus diisolir dengan wijkenstelsel dan passenstelsel. Artinya orang Tionghoa harus tinggal di tempat tertentu (Pecinan) dan apabila ingin bepergian harus meminta surat ijin atau pass dari penguasa setempat. Orang Tionghoa juga dilarang memakai pakain orang Jawa atau penduduk pribumi lainnya agar tidak dapat membaur dengan mereka dan menimbulkan kekacauan. Orang Tionghoa juga dilarang memakai pakaian Eropa, artinya orang Tionghoa hanya boleh memakai baju thungsha dan celanan komprang serta rambutnya memakai taucang alias kuncir. Bagi yang melanggar akan kena denda atau hukuman yang berat.

Pada dekade kedua abad ke-20 dengan berdirinya Tionghoa Shang Hwee (Perkumpulan Pedagang Tionghoa) dan Sarikat Dagang Indonesia yang kemudian berubah menjadi Sarikat Islam, terjadi beberapa kali benturan akibat persaingan dalam perdagangan antara pedagang Tionghoa dan Pedagang Islam yang umumnya keturunan Arab, antara lain kerusuhan di Kudus pada tahun 1918 yang berawal dari persaingan di antara pengusaha rokok kretek. Demikian juga di Solo, toko Sie Dhian Ho diserbu oleh para pedagang batik pribumi di pasar Lawean yang merasa tersaingi.

Kemudian pada masa dijalankannya politik etis oleh pemerintah Hindia Belanda setelah Tanam Paksa mendapatkan banyak kecaman di Belanda dan dimulainya liberalisasi dan dibukanya perkebunan-perkebunan dan tambang-tambang yang memerlukan banyak tenaga kerja, terjadilah arus migrasi orang-orang Tionghoa dari daratan Tiongkok terutama dari provinsi-provinsi Hokkian dan Kwangtung. Hal ini dapat terjadi karena Kaisar Dinasti Ching telah mencabut larangan bagi orang-orang Tionghoa untuk bepergian keluar negeri, termasuk perempuan-perempuannya. Sudah tentu kejadian ini menyebabkan terjadinya perubahan besar pada masyarakat Tionghoa di Nusantara yang selama ratusan tahun putus kontak dengan daratan Tiongkok. Hal inilah yang menyebabkan semakin surutnya jumlah Muslim Tionghoa di Indonesia sampai berdirinya rejim Orde Baru yang mendorong terjadinya asimilasi di masyarakat Tionghoa. Di masa Orde Baru karena adanya berbagai larangan bagi orang Tionghoa dalam menjalankan ibadahnya banyak orang Tionghoa yang tertarik untuk menjadi Muslim yang menurut pandangannya dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Tidak ada komentar: