Jumat, 30 November 2007

Anggrek

Anggrek merupakan sejenis tumbuhan berbunga yang sering ditanam sebagai tanaman hiasan. Tumbuhan berbunga mulai muncul pada Zaman Kapur. Tanaman berbunga pertama adalah angiosperma. Dia merupakan bunga kebangsaan bagi negara Singapura dan Thailand. Bunga Anggrek Bulan adalah bunga pesona bangsa Indonesia.

Anggrek sering dipergunakan sebagai simbol dari rasa cinta, kemewahan, dan keindahan selama berabad-abad. Bangsa Yunani menggunakan anggrek sebagai simbol maskulinitas , sementara bangsa Tiongkok pada jaman dahulu kala mempercayai bahwa anggrek sebagai tanaman yang mengeluarkan aroma harum dari tubuh Kaisar Tiongkok.

Pada pertengahan zaman, anggrek mempunyai peran penting dalam pengembangan tehnik pengobatan menggunakan tumbuh-tumbuhan. Penggunaannya pun meluas sampai menjadi bahan ramu-ramuan dan bahkan sempat dipercaya sebagai bahan baku utama pembuatan ramuan ramuan cinta pada masa tertentu. Ketika anggrek muncul dalam mimpi seseorang, hal ini dipercaya sebagai simbol representasi dari kebutuhan yang mendalam akan kelembuatan, romantisme, dan kesetiaan dalam suatu hubungan. Akhirnya, pada permulaan abad ke-18, kegiatan mengkoleksi anggrek mulai menjadi kegiatan yang banyak dilakukan di segala penjuru dunia, terutama karena keindahan dan sisi eksotik dari tanaman ini.

Kumbo Karno

Kumbo karno adalah salah satu tokoh perwayangan Jawa. Hal ini dapat dilihat dari petikan artikel dibawah yang diambil dari salah satu website:
”Pagelaran wayang ini mengambil tema, Kumbo Karno Gugur. Tokoh ini tak lain adalah adik kandung dari Raja Alengka, Dasamuka yang dikenal dalam dalam dunia pewayangan sebagai sosok pemimpin yang lalim. Intinya, Kumbo Karno yang tak sejalan dengan kepemimpinan kakaknya, menghadapi situasi dilematis, ketika negerinya terlibat peperangan dengan kerajaan Astina. Ketika akhirnya Kumbo Karno memutuskan untuk ikut perang, adalah bukan karena membela kakaknya, melainkan sebagai wujud kecintaannya pada negeri yang melahirkannya.
Singkat cerita, Kumbo Karno akhirnya gugur di tangan Hanoman melalui senjata panahnya yang sakti. Tapi nampaknya bukan lakon cerita yang menarik perhatian penonton, tetapi lebih pada duel sang dalang kondang.”

Asal Usul Wayang

Asal usul dan perkembangan wayang tidak tercatat secara akurat seperti sejarah. Namun orang selalu ingat dan merasakan kehadiran wayang dalam masyarakat. Wayang merupakan salah satu buah usaha akal budi bangsa Indonesia. Wayang tampil sebagai seni budaya tradisional dan merupakan puncak budaya daerah.

Sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini banyak para cendekiawan dan budayawan berusaha meneliti dan menulis tentang wayang, diantaranya Hazeu dan Rassers. Dan pandangan dari pakar Indonesia, seperti K.P.A, Kusumadilaga, Ranggawarsita, Suroto, Sri Mulyono, dan lain-lain. Dan menurut para cendekiawan, wayang sudah ada dan berkembang sejak kuna, sekitar tahun 1500 SM.

Wayang yang dalam bentuknya sederhana ialah asli Indonesia. Wayang memiliki landasan yang kokoh. Landasan utamanya memiliki sifat ‘Hamot’ ( keterbukaan untuk menerima pengaruh dan masukan dari dalam dan luar ) , ‘Hamong’ ( kemampuan untuk menyaring unsur-unsur baru itu sesuai nilai-nilai warna yang ada , ‘Hamemangkat

( memangkat suatu nilai menjadi nilai baru. Periodisasi perkembangan budaya wayang juga merupakan suatu hahasan yang menarik.

Bermula zaman kuna ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme. Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa, tetap mempunyai kuasa. Mereka tetap dipuja dan dimintai pertolongan. Roh nenek moyang yang dipuja ini disebut ‘hyang atau dahyang’. Orang bisa berhubungan dengan ‘hyang atau dahyang’ ini melalui seorang medium yang disebut ‘syaman’. Ritual pemujaan nenek moyang ‘hyang’ dan ‘syaman’ inilah yang akhirnya menjadi asal mula pertunjukkan wayang. ‘hyang’ menjadi wayang dan ‘syaman’ menjadi dalang. Sedangkan ceritanya ialah petualangan dan pengalaman nenek moyang. Bahasa yang digunakan ialah bahasa Jawa asli yang masih dipakai hingga sekarang. Jadi, wayang berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia disekitar tahun 1500 SM.

Berjalan dengan seiringnya waktu, wayang terus berkembang samapai pada masuknya agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam.

Dalam pewayangan cerita, bermula dari kisah Ramayana yang terus bersambung dengan Mahabrata, dan diteruskan dengan kisah zaman kerajaan kediri. Falsafah Ramayana dan Mahabrata yang Hinduisme diolah sedemikian rupa sehingga diwarnai nilai-nilai agama Islam.

Masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan besar-besaran tersebut, tidak saja terjadi dalam bentuk dan cara pergelaran wayang, melainkan juga isi dan fungsinya. Bentuk wayang yang semula realistik proporsional seperti tertera dalam relief candi-candi, distilir menjadi bentuk imajinatif seperti sekarang ini. Selain itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam peralatan seperti kelir atau layar, blencong atau lampu sebagai alat penerangan pada pertunjukkan wayang kulit dan juga mempunyai makna simbolik, yaitu memanfaatkan masukan serta pengaruh budaya lain baik dari dalam maupun dari luar Indonesia, debog yaitu pohon pisang untuk menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.

Asal usul wayang Indonesia menjadi jelas dan mudah dibedakan dengan seni budaya sejenis yang berkembang di India, Cina, dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Tidak saja berbeda bentuk serta cara pementasannya, cerita Ramayana dan Mahabrata yang digunakan juga berbeda. Cerita terkenal ini sudah digubah sesuai nilai dan kondisi yang hidup dan berkembang di Indonesia. Keaslian Wayang bisa ditelusuri dari penggunaan bahasa seperti Wayang, kelir, blencong, kepyak, dalang, kotak dan lain-lain. Kesemuanya itu menggunakan bahasa Jawa asli. Berbeda dengan cempala, yaitu alat pengetuk kotak yang menggunakan bahasa sansekerta. Biasanya wayang selalu menggunakan bahasa campuran yang biasa disebut ‘basa rinengga’.

Kekuatan utama budaya Wayang ialah kandungan nilai falsafahnya. Wayang yang tumbuh dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil menyerap berbagai nilai-nilai keutamaan hidup dan dapat terus dilestarikan dalam pertunjukkan wayang.

Memasuki pengaruh agama Islam, kokoh sudah landasan wayang sebagai tontonan yang mengandung tuntunan, yaitu acuan moral budi luhur menuju terwujudnya ‘akhlaqul karimah’. Wayang bukan lagi sebagai tontonan bayang-bayang atau ‘shadow play’, melainkan sebagai ’wewayangane ngaurip’, yaitu bayangan hidup manusia.

Wayang juga dapat secara nyata menggambarkan konsepsi hidup ‘sangkan paraning damadi’, manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali keribaan-Nya.

banyak ditemui seni budaya semacam wayang yang terkenal dengan ‘puppet show’, namun tidak seindah dan sedalam maknanya sulit menandingi Wayang Kulit Purwa.